Halaman

Entri Populer

Sabtu, 21 September 2013

Otonomi Daerah


Latar Belakang Terbentuknya Desentralisasi diIndonesia


Desentralisasi yang kita sering dengar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, ternyata oleh pakar banyak didefinisikan berbeda. Menurut David K. Hart banyaknya definisi tentang desentralisasi tersebut disebabkan karena adanya beberapa disiplin ilmu dan ajaran yang memberikan perhatian terhadap desentralisasi tersebut, antara lain seperti ilmu Administrasi Negara, Ilmu Politik, dan beberapa teori administrasi.
            Secara Etimologis istilah desentralisasi berasal dari bahasa latin yang berarti “de” artinya lepas  dan  “centrum” artinya pusat, sehingga apat diartikan terlepas dari pusat. Dari sudut pandang ketatanegaraan yang dimaksud dengan desentralisasi adalah penyerahan kekuasaan pemerintahan dari pusat kepada daerah – daerah yang mengurus rumah tangganya sendiri (daerah otonom). Pengetian diatas hampir serupa dengan apa yang telah dikatakan oleh Amrah Muslimin yang menyatakan desentralisasi yakni pelimpahan kewenangan pada badan – badan atau golongan dalam masyarakat dalam daerah tertentu untuk mengurusi rumah tangganya sendiri.
            Amarah Muslimin mengemukakan 3 macam desentralisasi yakni :
    • Desentralisasi Politik, sebagai pengakuan adanya hak mengurus kepentingan rumah tangganya sendiri pada badan – badan politik di daerah yang dipilih oleh rakyat dalam daerah tertentu.
    • Desentralisasi Fungsional, sebagai pengakuan adanya hak pada golongan yang mengurus atu macam atau golongan kepentingan dalam masyarakat, baik serikat atau tidak pada suatu daerah tertentu, seperti Subak di Bali.
    • Desentralisasi Kebudayaan, yang mengkui adanya hak pada golongan kecil masyrakat untukmelenggarakan kebudayaannya sendiri antara lain pendidikan dan agama.

Jika kita menelaah dari segi kepustakaan maka dikenal dua macam desentralisasi yang meliputi:
  • Desentralisasi Jabatan (ambtelijke decentralisatie) yaitu pemencaran kekuasaan dai atasan kepada bawahan sehubungan dengan kepegawaian atau jabatan (ambt) dengan maksud untuk meningkatkan kelancaran kerja.
  • Desentralisasi Kenegaraan (staatkundige decentralisatie) yaitu penyerahan kekuasaanuntuk mengatur daerah dalam lingkungannya sebagai usaha mewujudkan asas demokrasi dalam pemerintahan negara.

Secara garis besar berdasarka pemahanan dan pembagian desentralisasi diatas. Maka, dapat diidentifikasi desentralisasi di negara kesatuan berarti adanya suatu penyerahan  kekuasaan dari pemerintahan pusat sebagai badan publik nasional kepada pemerintahan daerah sebagai badan publik lokal. Hal ini sebagaimana yang telah terjadi di inggris yang di jelaskan oleh Eric Barendt dalam bukunya An Introducion to Constitusional Law, bahwa :
A state with unitary constitution may decide for a number of reason to devolve power to regional (or local) assemblies.
Bhenyamin Hoessein dan syarif Hidayat menyebutkan beberapa tujuan dari adanya desentralisasi dan alasan dibeberapa negara berkembang diterapka desentralisasi. Diantaranya yakni :
Berkaitan dengan penerapan desentralisasi dinegara berkembang :
  •  Untuk pendidikan politik
  •  Untuk latihan kepemimpinan politik
  •  Untuk memelihara stabilitas politik
  • Untuk mencegah konsentrasi kekuasaan di pusat
  • Untuk memperkuat akuntabilitas publik
  •  Untuk meningkatkan kepekaan elit terhadap kebutuhan masyarakat.

Perkawinan campuran

PERKAWINAN CAMPURAN

Pengertian perkawinan campuran dapat dipandang dari berbagai aspek, Jika diperhatikan kata-kata yang dipakai oleh pembuat undang-undang waktu mengadakan interpretasi otentik mengenai apa yang diartikan dengan istilah perkawinan campuran (gemegde huwelijk), dipergunakan perumusan yang luas: “Perkawinan dari orang-rang yang di Indonesia tunduk kepada hukum yang berbeda adalah perkawinan campuran” (huwelijken tusschen personen, die in Indonesie aan een verschillend recht onderwopen zijn, worden gemegde huwelijken genoemd).
Menurut Pasal 1 GHR, perkawinan campuran adalah perkawinan antara ”orang-orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan”.
Pasal 1 GHR memberikan penekanan pada verschillend rech onderwopen, yaitu yang takluk pada hukum berlainan. Seperti disebutkan di atas, warisan stelsel hukum kolonial mengakibatkan pluralisme hukum yang berlaku di Indonesia, antara lain suku bangsa, golongan, penganut-penganut agama, berlaku hukum yang berlainan terutama di lapangan hukum perdata. Adapun yang menjadi pertimbangan pluralisme tersebut bukan karena diskriminatif tetapi justru untuk dapat memenuhi kebutuhan hukum dari semua golongan yang bersangkutan, terutama yang, menyangkut hukum perkawinan. Karena faktor perbedaan agama dan kepercayaan masing-masing pihak, tidak mungkin mengadakan hukum yang seragam.
Sementara itu, Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan memberikan definisi yang sedikit berbeda dengan definisi di atas. Adapun pengertian perkawinan campuran yang diatur dalam Pasal 57 Undang-Undang Perkawinan adalah:
Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.”
Pasal 57 membatasi makna perkawinan campuran pada perkawinan antara seorang warganegara RI dengan seorang yang bukan warga negara RI, sehingga padanya termasuk perkawinan antara sesama warga negara RI yang berbeda hukum dan antara sesama bukan warga negara RI.
Purnadi Purbacaraka dan Agus Brotosusilo memberikan pengertian perkawinan internasional sebagai berikut.
Perkawinan Internasional adalah suatu perkawinan yang mengandung unsur using. Unsur asing tersebut bisa berupa seorang mempelai mempunyai kewarganegaraan yang berbeda dengan mempelai lainnya, atau kedua mempelai sama kewarganegaraannya tetapi perkawinannya dilangsungkan di negara lain atau gabungan kedua-duanya.

Kamis, 14 Maret 2013

tips sukses UAN 2013 terdahsyat



Tips sukses UAN 2013
 
1. perbaharui pola pikir anda
biasanya sebelum menghadapi UNAs kalian terbasa dengan hal yang santai dan bersenang – senang. Namun untuk saat ini coba kalian ubah pola pikir anda bahwa UAN juga sebuah kesenangan yang akan membawa anda ke suasana yang baru.
2. Berdoa
Jangan sekali-kali kita berhasil itu hanya karena kerja keras yang kita lakukan namun di sisi lain di sana ada peran tuhan yang sedikit banyak membantu anda meraih keberhasilan tersebut, jadi jangan lupa berdoa sebelum memasuki ruangan ujian, sebelum ujian dan setelah selesai mengerjakan soal ujian agar apa yang kita kerjakan menjadi baik.
3. Minta restu orang tua
Jelas mas bro...!! kalian bisa sekolah karena uang dari Ortu kalian kan...?
Untuk itu biar otak kalain lebih tokcer dan tidak ada beban tidak ada salahnya jika kalian sungkem terlebih dahulu ke orang tua sebelum berangkat ke medan perang.
4. Belajar
Nah kalau yanng ini jelas harus kalian lewati karena belajar yang jelas kunci sukses UNAS jadi jangan pernah kalian mengandalkan otak teman sealipun itu tidak dapat dihindari karena kalian tidak akan pernah tau kemungkinan apa yang akan terjadi di ruang ujian nanti.
5. Study Club
Nah ini mungkin anda terdengar asing, tapi ini juga merupakan langkah efektif untuk menghadapi ujian karena dengan kalian banyak melakukan sharing maa anda akan banyak membuka cakrawala baru dalam otak anda, dan akan membuat anda akan lebih akrab dengan teman anda. So saya yakin belajar anda akan asik dan tidak terasa jika anda sedang belajar.
6. Corat-Coret Soal
Nah loh yang ini juga merupakan langkah strategis untuk melatih otak anda dalam memecahkan problem soal UNAS. Karena jika kita banyak coba-coba mengerjakan soal unas maka kita akan terbiasa utuk menghadapi soal UNAS.

contoh surat kuasa khusus

Hanya untuk contoh

SUDARSO,S.H. & ASSOCIATES ADVOCATES AND LEGAL CONSULTANS
SK MENTERI KEHAKIMAN RI NO.B.009.09.09.1999
Jalan Ketintang Madya No. 50 Surabaya, Telepon (031)591591 Fax. (0274)501796
                                                                                                            

SURAT KUASA
            Yang bertanda tangan dibawah ini :-----------------------------------------------------------------
CV. INTAN BAKTI CONTRUCTION diwakili olehSUHARDI SUGIARTO, jenis kelamin laki-laki, agama islam, umur 55 tahun, pekerjaan direktur, bertempat tinggal  di  Perum  Puri Indah  blok 4, Kecamatan gedangan, Kabupaten Sidoarjo-----------------------------------------------------------------
Selanjutnya disebut  sebagai :---------------------------------------------------------PEMBERI KUASA
Bahwa dalam hal ini memilih tempat kediaman hukum (domisili) tetap di kantor kuasanya  yang tersebut di bawah ini, Dengan ini menerangkan memberikan kuasa kepada :--------------------------------------------
1.SUDARSO, S.H , jenis kelamin laki-laki, umur 30 tahun pekerjaan Advokad/ Penasihat Hukum dengan ijin praktik nomor. A 08.11889.----------------------------------------------------------------------------
2.NIKEN CAKRAWARTYA, S.H, jenis kelamin perempuan, umur 27 Tahun  pekerjaan Advokad/ Penasihat Hukum dengan ijin praktik nomor . A 07.10783.-------------------------------------------------
Yang kedua – duanya berkantor di Biro Konsultan dan Bantuan Hukum SUDARSO,S.H. & ASSOCIATES ADVOCATES AND LEGAL CONSULTANS beralamat diJalanKetintang Madya No.50 Surabaya, telepon (031)591591 fax. (0274)501796, selanjutnya disebut sebagai:--------------------------------------------------------------------------PENERIMA KUASA
Untuk selanjutnya bertindak sendiri – sendiri maupun bersama – sama---------------------------------------

------------------------------------------------ KHUSUS-------------------------------------------------

Jumat, 08 Maret 2013

smart solution: Hukum Adat

smart solution: Hukum Adat: Sejarah Politik Hukum Adat   1.       Masa Sebelum Pemerintahan Hindia Belanda Sebelum kedatangan bangsa Eropa seperti Portugis, Bb...

Hukum Adat

Sejarah Politik Hukum Adat
 
1.      Masa Sebelum Pemerintahan Hindia Belanda
Sebelum kedatangan bangsa Eropa seperti Portugis, Bbelanda dan Inggris negeri Nusantara ini dikuasai oleh para raja yang berkuasa atas kerajaan – kerajaan mereka masing – masing. Selain memperebutkan kekuasaan didalam mereka juga berebut kekuasaan diluar kerajaan sehingga membuat kekuasaan politik dan kerajaan mereka lemah.
Hukum yang menjadi pegangan mereka berperilaku bersfat parsial yakni hukum kerajan mereka masing – masing bahkan dalam masyarakat adapula yang tunduk terhada hukumadat masing – masing suku, hukum agama, bahkan kerajaan mereka masing – masing. Sering hukum erajaan seiring denganhukum kerajaan namun tidak sedikit hukum kerajaan yang berbeda dengan hukum adat suku, sehingga ada pluralisme hukum.
Masyarakat tidak pernah mempersoalkan hukum masing – masing, karena ada pepatah mengatakan “negara mawa tata desa mawa cara” artinya negara mempunyai tata tertib namun masyarakat juga mempunyai tata caranya sendiri.
Pada tahun 1589 kapal bedera Belanda bersandar dan melepaskan sauhnya di Banten. Kedatangan Belanda inilah awal lahirnya kolonialisme di Nusantara, sebab pada tanggal 20 Maret 1602 atas anjuran Van Oldenbaanneveldt, orang Belanda  yang terdiri dari 60 orang pemegang saham besar dan dikelolah oleh 17 orang pengurus harian yang disebut De Heren Seventien. Meraka mendirikan sebuah kongsi dagang yang disebut Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) yakni kongsi dagang India Timur. Dan sejak itulah Belanba mulai menjajaki Nusantara dengan Kolonialisasinya.
Jika dilihat dari beberapa literatur maka dapat diambil garis besar terhadap sikap politik hukum VOC terhadap hukum Adat : (a) bersifat Oportunitis artinya mendua meerapkan hukum Adat atau hukum VOC  jika hal itu menguntungkan VOC; (b) bahkan seringkali VOC tidak menghiraukan hukum adat dan membiarkan masyarakat pribumi menggunakan hukum asli mereka itu. Sika ini diambil oleh VOC bukan karena VOC menganggap bahwa hukum adat itu baik atau derajatnya sama dengan hukum Eropa melainkan VOC tidak mau dipusingkan atau dibebani dengan pekerjaan – pekerjaan administrasi; (c) VOC hanya perduli dengan hukum pidana karena mereka memerlukan keamanan dan ketertiban umum yang berkaitan dengan kepentingan dagang.
Dengan demikian, VOC telah mengabaikan perintah De heren XVII tertanggal 4 Maret 1621 yang menghendaki hukum sipil Belanda diberlakukan didaerah yang diuasainya.
KekuasaanVOC sejak berdiri hingga akhir masa kekuasaanya bisa dikatakan hanya berfokus di Jawa saja. Selama dua abad kekuasaanya  mereka dalam politik hukum VOC tidak pernah memperhatikan hukum adat. Pandangan VOC tantang hukum adat pada umumnya sama dengan pandangan orang Belanda pada umumnya yang menyamakan hukum adat dengan hukum agama (Islam).
Sedangkan intu hukum adat pada masa itu yakni saling menghormati perbedaan masing – masing, rasa takut pada kekuasaan yang lebih kuat/sakti, penuh rasa persahabatan, kekeluargaan/ kekerabatan, dan kebersamaan mengutamakan kerukunan / keselarasan/ keseimbangan kosmis sebagai sendi ketertiban dan keadilan dimana sesuatu ditempatkan di atas materi dan kepentingan pribadi.
Walaupun VOC kurang memperhatikan kehidupan hukum adat namun alur pikiran kebendaan orang Eropa telah meragsang cara berfikir dan melahirkan sifat materialisme penduduk pribumi. Demikian pula sebaliknya, sifat relijiusitas penduduk pribumi merangsang cara  berfikir sebagian orang terutama kaum intelektual Erops untuk mempelajari, mendalami, dan mengkaji hukum adat.
2.      Masa Hindia Timur = Deandels (1811 - 1816)
Pada tanggal 31 Desember 1799, akhirnya VOC mengalami kebangkrutan dan dibubarkan. Kemudian kekuasaan diambil alih oleh Bataafsche Republiec yang dipimpin oleh William Deandels.
Bataafsche Republiec kemudian berubah menjadi Koninkrijk Holland dengan rajanya Luis Napoleon. Raja mengangkat Deandels menjadi Gubenur jendral yang berkuasa 1811 – 1816. Deandels dikenal kekejamannya sebagai Marsekal Basi.
Pekerjaan yang berhasil dilakukan :
·        Memberatas korupsi
·        Melakukan reorganisasi kehakiman dan pamong praja
·        Membuat jalan raya dari Anyer – Panarukan untuk keperluan perang, dan
·        Yang paling merugikan masyarakat ialah menjual tanah kepada orang asing yang kemudian hari disebut tanah partikulir.
Menurut pasal 8 Charter 1804 dinyatakan bahwa sususnan pengadilan untuk bangsa pribumi akan tetap menurut hukum dan adat mereka, sedang pemerintah hindia akan menjaga dengan alatnya yang pantas, agar didaerah yang secara langsung di kuasai oleh pemerintah (Deandels) sedapat – dapatnya perbuatan yang sewenag – wenang, yang masuk diam – diam yang bertentangan dengan hukum dan adat anak pribmi yang akan tersapu, lagi pula akan diusahakan anak negeri mendapat keadilan dengan cepat dan baik, dengan jalan menambah banyaknya penadilan negeri atau pengadilan pembantu, kemudian semua pengaruh yang buruk dari kekuasaan politik apapun juga akan ditentang.
3.      Masa Kekuasaan  Inggris = Raffles (1811 – 1816)
Kompeni Inggris di Pulau Penang Lord Lominto mengangkat Raffles sebagai agen politik dengan tugas mengumpulkan bahan – bahan untuk merebut pulau jawa.
Kemudian setelah diangkat menjadi aagen politik Faffles membuat sebuah karya berupa memori yang disampaikan kepada Lord Laminto yang mengatakan: “agar anak megeri terpikat hatinya kepada pemerintahan Inggris, maka pemerintahan harus dilaksanakan dengan murah hati dan sabar, penaruh Inggris harus benar – benar diperkuat di Kepulaan itu, agar kedudukan disana tetap kuat, walaupun mungkin jajahan ini nanti akan dikembalikan setelah tercapai peerdamain di Eropa”.
Politik hukum inggris pada masa Lord Laminto di proklamirkan pada saat pengangkatan Raffles sebagai Gubenur Jendral di Indonesia :

Rabu, 04 Juli 2012

hukum pidana


BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar belakang
Secara umum jika kita mempelajari tentang hukum pidana kita sudah pasti akan berhadapan langsung dengan sejumlah kasus yang beragam macamnya terjadi didalam masyarakat dan kehidupan keseharian kita. Hukum Pidana sebagai hukum yang bersifat Ultimum Remidium ( jalan terakhir atau pilihan terakhir ) sudah barang tentu memiliki konsekuensi yang lebih berat dari hukum yang lain karena dalam hukum pidana dikenal dengan pengenaan sanksi (Straf)[1]. Sanksi yang ada di dalam tataran Hukum Pidana sangatlah beragam macam dan bentuknya yang telah diatur dalam pasal 10 KUH pidana.
Hukum Pidana selain memiliki beragam sanksi, juga banyak diwarnai dengan jenis pidana itu sendiri sehingga dalam mempelajari Hukum Pidana harus dipelajari secara holistik karena satu sama lain saling terkait.
Hukum Pidana adalah jenis hukum yang sangat detail dalam pelaksanaannya karena dalam setiap dakwaan dan penuntutan jaksa penuntut harus dapat menguraikan dengan jelas cermat dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan serta harus menyertakan atau menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan atau lebih familiar dengan kata Locus dan Tempus Delictinya. Tempat dan waktu ini sangat perlu dalam surat dakwaan karena jika tidak maka dakwaannya batal demi hukum.
Untuk menentukan Locus dan Tempus Delicti ini secara pasti tidaklah mudah karena pada hakikatnya tindak pidana merupakan tindakan manusia, dimana untuk melakukan tindak pidana itu sering digunakan alat yang dapat membantu orang tersebut melakukan tindak pidana yang tentunya hal ini sesah dilacak.
Selain itu pengaturan tentang Locus dan Tempus ini tidaklah diatur dalam kitab Undang - Undang Hukum Pidana melainkan ajaran ini hanya dapat di pelajari dari doktrin.[2] Sehingga perlu pemahanan secara holistik untuk mengaitkan antara doktrin dan hukum ;positif yang telah ada dan diatur dalan KUHP yang berlaku.

1.2  Rumusan masalah
Dari latar belakang diatas dapat di identifikasi rumusan masalah sebagai berikut :
a.       Bagimana kaitan antara Locus dan Tempus delicti dalam ketentuan tindak pidana?
b.      Bagaimanakah cara menentukan Locus dan Tempus dalam suatu tindak pidana secara pasti dalam perspektif Delik Comissionis ?


BAB II
PEMBAHASAN
2.1    Manfaat Locus dan Tempus Delicti dalam Tindak Pidana
2.1.1 Manfaat mengetahui Locus Delicti dalam Tindak Pidana
            Persoalan tentang tempat terjadinya tindak pidana (Locus Delicti) tidak hanya penting dalam perspektif hukum pidana formil, akan tetapi dalam perspektif hukum pidana pada umumnya. Secara umum kepastian mengenai tempat terjadinya tindak pidana (Locus Delicti) penting pula terhadap beberapa hal berikut ini :
1.      Berkaitan dengan kompetensi relatif dari pengadilan, yaitu menentukan pengadilan Negeri mana yang berwenang mengadili tindak pidana yang terjadi di suatu tempat tertentu. Kepastian tempat tindak pidana (Locus Delicti) penting dan perlu diperhitungkan berhubung setiap pengadilan memiliki wilayah yuridiksi yang berbeda satu dengan yang lainnya. Pengadilan hanya dapat menangani atau mengadili kasus yang hanya berada dalam jangkauan wilayah administratif kabupaten / kotamadya, pengadilan dapat menangani perkara – perkara yang diajukan. Dengan demikian, dengan diketahuinya tempat terjadinya tindak pidana (Locus Delicti) maka, diketahui pula pengadilan mana yang berwenang mengadili terhadap tindak pidana yang terjadi yang berada di wilayah administratifnya (kewenangan Relatif).
2.      Berkaitan dengan ruang lingkup berlakunya aturan pidana Indonesia sebagaimana yang telah diatur dalam pasal 2 sampai dengan pasal 9 KUHP. Dalam ketentuan pasal 2 KUHP menyatakan, “ Bahwa aturan pidana Indonesia berlaku bagi setiap orang ( bagi warga negara Indonesia ataupun WNA) yang melakukan perbuatan pidana di Indonesia”. Sehingga dengan di ketahuinya tempat terjadi tindakan pidana (Locus Delicti) misalkan trjadi diluar negeri maka aturan pidana tidak berlaku bagi setiap orang kecuali yang diatur dalam Undang – Undang. Misalnya hanya berlaku bagi warga negara Indonesia yang melakukan tindakan tertentu saja, sebagaimana yang telah diatur dalam pasal 5 (1) ke – 2 KUHP yang menyatakan :
(1)   Aturan pidana dalam perundang – undangan Indonesia berlaku bagi warga negara Indonesia yang diluar indonesia melakukan :
Ke – 2 salah satu perbuatan yang oleh suatu aturan pidana dalam perundang – undangan Indonesia dipandang sebagai kejahatan sedangkan menurut undang – undang negara negara dimana perbuatan dilakukan, diancam pidana.
3.      Berkaitan dengan pengecualian seprti yang dimaksudkan dalam pasal 9 KUHP. Berdasarkan ketentuan pasal 9 KUHP telah ditentukan bahwasanya ketentuan pasal 2 – 5, 7 dan 8 berlakunya dibatasi oleh pengecualian yang telah diakui dalam hukum international. Dengan adanya pembatasan ketentuan pasal 9 KUHP tersebut  dapat diartikan apabila dalam wilayah teritorial terjadi tindak pidana internasional, maka asas teritorial sebagaimana yang ditentukan dalam pasal 2 KUHP tidak berlaku mutlak. Sebab meskipun tindak pidana yang terjadi berada di wilayah teritorial Indonesia tidak diadili berdasarkan peraturan pidana Indonesia melainkan peraturan negara lain. Hal ini disebabkan karena menurut peraturan pidana internasional setiap negara memiliki kewenangan yang sama terhadap tindak pidana international yang terjadi  dimanapun Locus Delicti dari kejahatan internasional tersebut.
4.      Berkaitan dengan adanya syarat, bahwa sebuah tindakan dapat dikatakan perbuatan pidana apabila dilakukan ditempat umum, misalnya suatu tindakan pidana yang menodai nilai - nilai kesusilaan di tempat umum seperti yang telah diatur dalam pasal 281 KUHP. Hal yang berkaitan dengan syarat ini dikatakan suatu perbuatan tindak pidana apabila tidak sesuai tempatnya pelaksanaannya, seperti yang dicontohkan diatas apabila dilakukan dalam tempat tertutup hal itu bukan merupakan tindak pidana namun jika dilakukan ditempat umum meskipun dilakukan oleh pasangan resmi secara hukum, tetap perbuatan tersebut dianggap perbuatan tindak pidana karena dianggap menciderai nilai kesusilaan.[3]
5.      sebagai salah satu syarat mutlak sahnya surat dakwaan[4]
2.1.2 Manfaat mengetahui Tempus Delicti dalam Tindak Pidana
             Mengingat hukum pidana yang sangat komplek dan memerluan kecermatan dalam semua aspek penyelesaiannya maka selain kita memahami kompetensi mengenai Locus Delicti, kita sebagai warga hukum juga dituntut untuk memahami secara keseluruhan mengenai tempat terjadinya tindak pidana atau Tempus Delicti karena hal ini juga sama penting berkaitan dengan :
1.      Asas legalitas yang berkenaan dengan berlakunya ketentuan pasal 1 ayat (1) dan (2) KUHP.
Dijelaskan dalam ketentuan pasal 1 ayat (1) KUHP bahwa “ tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan peratuaran pidana dalam perundang – undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan”. Dalam hal ini jelas bahwa ketentuan tersebut menyatakan dengan tegas bahwasanya Undang – Undang tidak berlaku surut (non retroaktif) terhadap suatu tindakan yang telah dilakukan. Karena pada hakikatnya  esensi dari pasal 1 ayat (1) tersebut adalah Lex Tempori Delicti yang mengandung maksud bahwasanya hukum yang berlaku adalah hukum yang ada saat perbuatan tersebut dilakukan. Jadi disinilah esensi pentingnya mengetahui waktu terjadinya tindak pidana tersebut karena suatu tindakan dapat dipidana apabila perbuatan terebut terlebih dahulu diatur dalam undang – undang.
2.      Keterkaitan dengan usia pelaku (pasal 47 KUHP) dan usia korban untuk delik susila (pasal 287 ayat 2 dan pasal 290 dan 291 KUHP).
Dalam keterkaitan hal ini dengan adanya Tempus Delicti bermaksud mengetahui apakah yang bersangkutan telah cukup umur ataukah tidak. Semisal dalam ketentuan pasal 283 KUHP diketahui waktu terjadinya tindak pidaa tersebut, usia dapat digunakan untuk menentukan apakah orang ditawari, diberi atau diperlihatkan tulisan, gambar yang melanggar kesusilaan sudah berumur tujuh belas tahun atau tidak. Maka jika belum pelaku dapat diancam dengan pidana.
3.      Keterkaitan dalam ketentuan kadaluwarsa hak penuntutan dan hak dalam menjalankan hukuman seperti halnya yang telah diatur dalam pasal 78 – 85 KUHP. Dalam hal ini telah dijelaskan dalam ketentuan pasal 78 KUHP dimana untuk menentukan hapusnya hak penentutan kerena lewatnya waktu terhadap pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan dengan percetakan yakni dengan ketentuan batas waktu satu tahun, perkara tersebut harusnya telah diketahui kapan waktu terjadinya sebuah tindak pidana tersebut.
4.      Berkenaan dengan pengulangan melakukan suatu tindak pidana sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 486 – 488 KUHP.
5.      Berkaitan dengan kemampuan bertanggung jawab pelaku  sesuai dengan pasal 44 KUHP, yankni apakah pada saat melakukan suatu tindak pidana tersebut pelaku dapat di dipertanggung jawabkan apakah tidak.
6.      Berkaitan dengan kejahatan konvensional seperti halnya pencurian  dengan persyaratan untuk terjadinya pencurian dengan pemberatan pidana pada pasal 363 KUHP, apakah pencurian tersebut dilakukan pada waktu malam atau tidak.[5]
7.      Berkaitan dengan pasal 45 KUHP. Tentang pelaku apakah telah berusia diatas 16 tahun atau tidak, jika belum maka ada 3 kemungkinan :
a.       Pengembelian kepada orang tua, tanpa dipidana.
b.      Penyerahan kepada pemerintah, dan di bina.
c.       Menjatuhi pidana seperti orang dewasa dengan pengurangan ¼ dari pidana pokok.[6]
2.2     Ajaran Tentang Locus dan Tempus Delicti dalam Tindak Pidana
2.2.1 Ajaran tentang tempat terjadinya tindak pidana dalam Delik Commissionis
Terkait dengan persoalan tempat terjadi tindak pidana (Locus Delicti) dalam delik Comissionis yatu suatu tindak pidana yang berbuat sesuatu yang dilarang, tedapat beberapa ajaran yakni :
a.       Teori  perbuatan materiil (de leer van de lichamelijke daad)
Menurut ajaran ini yang harus dianggap sebagai tempat terjadinya tindak pidana (Locus Delicti) adalah tempat dimana perbuatan itu yang dilarang dan diancam dengan pidana itu dilakukan. Tempat dimana terjadinya tindakan materiil nya dari suatu tindakan yang bersangkutan.
Contoh kasus :
“Pada saat perjalan pulang menuju kota Pekalongan anisa 28 tahun didatangi oleh seorang pria penipu di terminal purabaya Surabaya, sebut saja namanya Panji. Dengan sedikit rayuan dan iming – iming yang ditawarkan panji kepada anis sejak dari Surabaya akhirnya sesampainya di pekalongan seluruh harta benda hasil ia bekerja berhasil di ambil oleh panji dan dibawa kabur”.
Dari kasus diatas timbul permasalahan tentang dimana locus delictinya? Jika kita mengikuti ajaran perbuatan materiil maka sudah jelas locus delicti dari perbuatan tersebut adalah disurabaya. Namun kita tidak boleh lupa sebab akibat yang diarang dalam tindak pidana justru terjadi ketika anis berada di pekalongan. Dengan demikian maka dari contoh kasus diatas adalah tindakan yang hakikatnya locus delictinya berada di Pekalongan.
Ajar perbuatan materiil tersebut merupakan suatu ajaran yang tepat jika digunakan untuk menentukan locus delicti ketika tindakan pidana yang terjadi adalah tindakan pidana formil, yakni sebuah tindakan pidana pidana yang telah dianggap terjadi/selesai setelah dilakukannya perbuatan yang dilarang tersebut. Sehingga tidak terjadi persoalan baru dalam penyelesaiannya.
b.      Teori Akibat (de leer van het gevolg)
Ajaran ini menyatakan bahwa yang harus dianggap menjadi locus delicti dari suatu tindak pidana adalah tempat dimana akibat dari perbuatan itu terjadi. Teori ini tidak melihat dimana perbuatan tersebut dilakukan, namun lebih menekankan pada dimana akibat dari perbuatan tersebut terjadi. Teori ini lebih tepat jika digunakan untuk menentukan suatu locus delicti dari sebuah tindakan pidana materiil. Dimana jenis pidana ini mensyaratkan terjadinya akibat atau syarat selesainya suatu tindakan pidana. Dalam studi kasus yang telah diberikan maka yang memenui syarat terjadinya akibat pidananya adalah di Pekalongan.
c.       Teori Instrumental (de leer van het instrument)[7]
Menurut teori yang dipaparkan berikut ini menjelaskan bahwasamya yang harus menjadi atau dianggap sebagai locus delicti adalah tempat dimana alat yang digunakan menimbulkan akibat tindak pidana.
Contoh :
“Mirwan mengirimkan sekotak kue beracun dari Jember kepada Mawar yang berda di Padang, selang beberapa hari akhirnya kue kiriman Mirwan dikonsusmi oleh Mawar yang mengakibatkan matinya Mawar yang berkediaman di Padang”.
   Dari kutipan kasus diatas maka menurut ajaran instrumental yang berkembang maka locus delicti dari tindakan pidana tersebut adalah di Padang. Karena instrumen yang digunakan dalam tindak pidana tersebut menyebabkan akibatnya di padang.
d.      Teori gabungan (de leer van de meervoudige pleets)[8]
Dalam teori ini menegaskan bahwa yang dianggap sebagai tempat terjadinya tindak pidana yaitu tempat2 dimana perbuatan tersebut secara fisik terjadi, tempat dimana alat yang digunakan bereaksi, dan tempat dimana akibat dari tindak pidana tersebut timbul.

 Dengan berberapa ajaran diatas dapat dijelaskan bahwa penentuan locus delicti  dalam suatu tindakan dapat ditentukan sesuai dengan kebutuhan sesuai denga ajaran yang sesuai dengan kasus yang telah terjadi serta harus sesuai dengan kebutuhan dan ketentuan Pidana Formil.
2.2.2 Ajaran tentang  waktu terjadinya tindak pidana dalam Delik Commissionis
          Dalam menentukan waktu terjadinya suatu tindak pidana dalam tindak pidana Comissionis dapat dilihat dari beberapa ajaran seperti berikut :
1.           Teori perbuatan materiil
Menurut ajaran ini yang harus dianggap sebagai waktu terjadinya tindak pidana (Tempus Delicti) adalah waktu dimana perbuatan itu yang dilarang dan diancam dengan pidana itu dilakukan. Waktu dimana terjadinya tindakan materiilnya dari suatu tindakan yang bersangkutan.

2.      Teori Akibat
Ajaran ini menyatakan bahwa yang harus dianggap menjadi Tempus delicti dari suatu tindak pidana adalah waktu dimana akibat dari perbuatan itu terjadi. Teori ini tidak melihat waktu perbuatan tersebut dilakukan, namun lebih menekankan pada kapan akibat dari perbuatan tersebut terjadi.

3.      Teori Instrumen
Menurut teori yang dipaparkan berikut ini menjelaskan bahwasamya yang harus menjadi atau dianggap sebagai Tempus delicti adalah waktu dimana alat yang digunakan menimbulkan akibat tindak pidana.[9]
4.      Teori gabungan
Dalam teori ini menegaskan bahwa yang dianggap sebagai waktu terjadinya tindak pidana yaitu waktu dimana perbuatan tersebut secara fisik terjadi waktu kapan alat yang digunakan bereaksi, dan waktu kapan akibat dari tindak pidana tersebut timbul.
Pada umunnya cara penentuan antara Locus dan Tempus dalam tindak pidana yakni menggunakan keempat teori yang telah dipaparkan sehingga dapat di ambil garis besar dalam menggambil dan memutuskan dimana dan kapan terjadinya suatu tindak pidana, para penegak hukum dituntut mempu menganalisis dan menggunakan teori atau ajaran yang tepat sehingga dapat digunakan sebagai bukti yang autentik dalam surat dakwaan dan terdakwa dapat diproses sesuai dengan ketentuan perundang – undangan yang berlaku.[10]
2.3 Analisis kasus berdasarkan Teori Locus dan Tempus Delicti
2.3.1 kasus penganiayaan berat
            Sabtu, 31 Maret 2012 14:55:25 WIB
Dibakar Api Cemburu, Sahabat Ditusuk Sahabat
DEPOK (Pos Kota) – Aditia, 24, warga Jalan Cisokan Kelurahan Abadijaya, Kecamatan Sukmajaya, Depok, Jumat (30/3) malam nyaris meregang nyawa akibat ditusuk menggunakan pisau dapur oleh temannya sendiri. Motifnya karena tersangka cemburu pacarnya diajak pergi oleh korban.
Beruntung nyawa korban dapat diselamatkan oleh tetangga dengan melarikan ke rumah sakit terdekat. Sedangkan Andi Suwardi, 26, pelaku ditangkap warga saat akan melarikan diri dari rumah korban.
Menurut AKP Syah Johan, Kanit Reskrim Polsek Sukmajaya, pertikaian antara kedua sahabat tersebut diduga berawal ketika korban akan membawa gadis pujaan Suwardi main ke rumahnya.Namun hal tersebut diketahui oleh Suwardi, dan karena geram pemuda pengangguran tersebut langsung mengambil pisau dapur dan langsung menghujaninya dengan tusukan.
“Rumah pelaku dengan korban bersebelahan. Karena dibakar api cemburu langsung saja pelaku menikam korban. Untung korban melawan sehingga tidak terjadi hal yang lebih parah,” ujarnya kepada Pos Kota di ruang kerjanya, Sabtu (31/3) pagi.
Dari peristiwa tersebut, korban mengalami luka sayat di tangan kanan dan pipi sebelah kanan. “Pemicu pertengkaran tersebut kalau tidak suka melihat cewek pelaku diajak jalan dengan korban yang juga teman sekitar rumah. karena terbakar api cemburu langsung terjadi perkelahian,”tambahnya. “pelaku dikenakan sanksi pidana pasal 351 tentang penganiayaan dengan ancaman hukuman 5 tahun penjara.” [11]
2.3.2 Analisis kasus tentang Locus dan Tempus Delictinya
Judul                : Dibakar Api Cemburu, Sahabat Tusuk Sahabat Kasus    tentang Penganiayaan
Tempat            : Jalan Cisokan Kelurahan Abadijaya, Kecamatan Sukmajaya, Depok
Waktu              : Jumat, 30 Maret 2012
Korban             : Aditia (24)
Pelaku              : Andi Suwardi (26)
Dalam kasus ini, delik dilakukan di Indonesia
Tindak pidana yang terjadi dalam kasus ini adalah Penganiayaan Berat, sehingga dapat dikenakan pasal 354 ayat (1) KUHP
Pasal 354 ayat (1) KUHP “Barang siapa dengan sengaja melukai berat orang lain, diancam karena melakukan penganiayaan berat dengan pidana penjara paling lama delapan tahun”.
Unsur dari pasal ini adalah
- Barang siapa, arti dari unsur ini adalah siapapun terkecuali dapat dikenakan ketentuan dari pasal ini
- Dengan sengaja, yang dimaksud adalah sang pelaku harus memenuhi willen & wetten, yaitu mengetahui dan menghendaki dilakukannya perbuatannya yang sedemikian rupa sebagaimana dinyatakan dalam pasal ini. Sehingga dapat disimpulkan, karena semua unsur dalam pasal 354 ayat (1) terpenuhi, berarti pelaku melakukan tindak pidana dengan sengaja.
- Melukai berat orang lain, maksud dari unsur ini adalah perbuatan tersebut mengakibatkan luka berat pada orang lain, dimana luka tersebut memang dimaksudkan oleh pelaku. Artinya luka berat itulah yang memang dijadikan tujuan oleh pelaku.[12]
Locus Delicti
Analisis Locus Delicti yang dapat disimpulkan dari kasus diatas mengenai penganiayaan berat yang dilakukan oleh Andi Swandi berdasarka empat teori yang telah diketahui adalah sebagai berikut :
- Berdasarkan teori perbuatan fisik, delik terjadi di Cisokan Kelurahan Abadijaya, Kecamatan Sukmajaya, Depok. Oleh karena itu menurut manfaat kewenangan relatif pengadilan, maka yang berwenang mengadili kasus ini adalah Pengadilan Negri Depok.
- Berdasarkan teori bekerja alat dalam kasus, pisau yang digunakan untuk menusuk tubuh korban, bekerja di tempat kejadian. Oleh karena itu yang berwenang mengadili kasus ini adalah Pengadilan Negri Depok.
- Berdasarkan teori akibat, maka akibat dari delik tersebut adalah luka parah yang dialami korban di tempat kejadian. Kewewenangan relatif  yang berwenang mengadili kasus ini adalah Pengadilan Negri Depok.
- Sedangkan berdasarkan ajaran De Leer van de Meervoudige Plaats, bahwa sevara fisik delik tersebut terjadi di tempat kejadian (Depok) demikian pula alat yang digunakan dalam delik bekerja/berfungsi di tempat kejadian (Depok), maka atas dasar itu Pengadilan Negri Depok lah yang berwenang mengadilinya.
            Tempus Delicti
Dari kasus diatas juga dapat ditentukan Tempus Delicti berdasarkan empat teori yang telah diulas diawal maka yang dapat ditentukan mengenai Tempus Delicti dalam kasus tersebut adalah sebagai berikut :
- Berdasarkan teori perbuatan secara fisik maka waktu terjadinya delik adalah pada saat pelaku melakukan penusukan tubuh korban dengan menggunakan pisau yang menyebabkan luka parah, dilakukan pada hari Jumat, 30 Maret 2012.
- Berdasarkan teori bekerjanya alat maka waktu terjadinya delik adalah pada saat pisau di ayunkan oleh si pelaku ke tubuh korban, yaitu pada hari Jumat, 30 Maret 2012.
- Berdasarkan teori akibat, maka waktu terjadinya delik adalah pada saat korban mengalami luka parah akibat tusukan pisau di tubuhnya, yaitu pada hari Jumat, 30 Maret 2012
- Berdasarkan teori waktu yang jamak, maka waktu terjadinya delik adalah pada hari Jumat, 30 Maret 2012, karena bila dilihat dari perbuatan fisik tempus dari kasus ini adalah Jumat, 30 Maret 2012 dan bila dilihat dari akibat yang ditimbulkan dari perbuatan, tempusnya juga pada hari Jumat, 30 Maret 2012.
Jadi secara keseluruhan dapat disimpulakan dari analisis diatas Locus dan Tempus dari kasus Penganiayaan tersebut berurutan sebagai berikut :
a.       Locus delicti dari perbuatan tersebut adalah di Cisokan Kelurahan Abadijaya, Kecamatan Sukmajaya, Depok.
b.      Tempus delicti dari perbuatan trsebut adalah pada hari Jumat, 30 Maret 2012.

2.3.4 Gadis ABG Umur 17 Tahun Pura Pura Jatuh Cinta dan Mau Diajak Kencan Kemudian Bunuh Pasangannya Karena Ingin Kuasai Sepeda Motornya

Wanita ABG, berusia 17 tahun, ditangkap Tim Buru Sergap Polres Karawang, terlibat pembunuhan, Beben Salehudin, 20, warga Kampung Sukajaya, Desa Anggadita, Rabu (28/3). Dia berperan merayu dan berpura- pura mencintai korban, sehingga korban mau diajak kencan ke lokasi wisata Danau Cipule.
Mayatnya Beben Salehudin, ditemukan tiga hari kemudian dalam keadaan terapung dan diganduli batu seberat 25 Kg, di Danau Cipule, Karawang, Jawa Barat. Pelaku menceburkan korban ke danau setelah kepalanya dipukul kayu, dibacok lengan kanannya juga tubuhnya diganduli batu.
Tim Buru sergap Polres Karawang, selain menangkap Siti Wahyuni, 17, warga Kampung Waringin Desa Kutapohaci, Ciampel, juga menangkap Taryat alias Sableng, 22, warga Pasir Muncang Desa Mulyasari Ciampel, Karawang, Selasa (10/4) petang di rumahnya masing-masing. Sedangkan satu pelaku lainnya AS, masih diburu polisi.
Kapolres Karawang, AKBP. Arman Achdiyat, SIk, MSi, melalui Kabag Humus Polres Karawang, AKP. Suyitno, Kamis (12/4) mengungkapkan, ketiganya membunuh korban pada Rabu (28/3) pukul 18.30 WIB di tepi Danau Cipule. Sedangkan motif sementara ini mereka baru mengakui hanya untuk menguasai sepeda milik korban.
Berdasarkan hasil pemeriksaan sementara, korban (Beben) pada hari itu mau diajak kencan oleh Siti Wahyuni, di sekitar Danau Cipule, karena korban merasa pelaku itu adalah pacarnya. Ternyata malah bertepuk sebelah tangan, Siti ternyata sudah merencanakan merampas motornya dibantu dua pelaku lainnya yaitu Taryat dan AS.
Taryat dan AS alias Cepot, tidak lama kemudian tepatnya pukul 18:30, datang ke tempat kencan korban dan Siti di tepi Danau Cipule, setekah Siti, memberitahu keberadaannya saat itu, melalui pesan singkat (SMS) kepada kedua rekannya tersebut.
Kedua pelaku yang mengendarai sepeda motor sampai di lokasi (TKP), mendatangi Beben dan Siti yang sedang duduk dekat motor di tepi danau, korban langsung dipukul AS alias Cepot menggunakan kayu, korban dalam keadaan tak berdaya, lalu Taryat, membacok korban menggunakan golok yang dibawanya dari rumahnya itu, tak puas hanya dibacok tangannya oleh Taryat, lalu AS, meraih golok yang sudah diletakkan di tanah dekat tubuh korban, kemudian dibacokkan lagi ke punggung korban.
Saat korban tak sadarkan diri, pelaku mengikat tubuh korban menggunakan tambang plastik yang disatukan dengan batu belah yang beratnya sekitar 25 Kg yang diambilnya dari tepi danau, selanjutnya korban diceburkan, tenggelam ke kedalaman air danau belasan meter, tiga hari kemudian mayatnya ditemukan warga setempat dalam keadaan terapung .
Dari tangan pelaku, petugas menyita barang bukti, satu sepeda motor Honda Blade, milik pelaku, sebilah golok, dua HP, sepasang anting-anting, karung, tambang plastik dan batang kayu yang digunakan membunuh korban. Sedangkan sepeda motor korban diduga dibawa kabur AS.[13]
2.3.5Analisis kasus berdasarkan locus dan tempus delicti dalam kasus pembunuhan berencana

Judul                  : Gadis ABG Umur 17 Tahun Pura Pura Jatuh Cinta dan Mau Diajak Kencan Kemudian Bunuh Pasangannya Karena Ingin Kuasai Sepeda Motornya

Tempat            : di Danau Cipule, Karawang, Jawa Barat.
Waktu              : Rabu, 28 Maret 2012
Jam                  : 18.30 WIB
Korban             : Beben Salehudin (20)
Pelaku                : Siti Wahyuni (17), Taryat alias Sableng (22) dan As (masih buron)
Dalam kasus ini, delik dilakukan di Indonesia
Tindak pidana yang terjadi dalam kasus ini adalah Pembunuhan berencana, sehingga dapat dikenakan pasal 340 KUHP
Pasal 340 KUHP “ Barang siapa  sengaja dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, di ancam, karena pembunuhan dengan rencana (moord), dengan pidana mati atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.
Unsur dari pasal tersebut meliputi :
- Barang siapa, arti dari unsur ini adalah siapapun terkecuali dapat dikenakan ketentuan dari pasal ini
- Sengaja dan dengan rencana, yang dimaksud adalah sang pelaku harus memenuhi willen & wetten, yaitu mengetahui dan menghendaki dilakukannya perbuatannya yang sedemikian rupa sebagaimana dinyatakan dalam pasal ini. Sehingga disimpulkan, karena semua unsur dalam pasal 340 KUHP terpenuhi, berarti pelaku melakukan tindak pidana dengan sengaja.
- Merampas nyawa orang lain, maksud dari unsur ini adalah perbuatan tersebut mengakibatkan matinya orang lain, dimana mati tersebut memang dimaksudkan oleh pelaku.
Locus Delicti
Analisis Locus Delicti yang dapat disimpulkan dari kasus pembunuhan berencana ini yang dilakukan oleh Siti dan dua orang temannya, berdasarka empat teori yang telah diketahui adalah sebagai berikut :
- Berdasarkan teori perbuatan fisik, delik terjadi di Danau Cipule, Karawang, Jawa Barat. Oleh karena itu menurut manfaat kewenangan relatif pengadilan, maka yang berwenang mengadili kasus ini adalah Pengadilan Negri Karawang, Jawa Barat.
- Berdasarkan teori bekerja alat dalam kasus, balok kayu dan golok yang digunakan untuk memukul dan membacok tubuh korban, sebagai alat bekerja di tempat kejadian. Oleh karena itu yang berwenang mengadili kasus ini adalah Pengadilan Negeri Karawang, Jawa Barat.
- Berdasarkan teori akibat, maka akibat dari delik tersebut adalah matinya korban di tempat kejadian. Kewewenangan relatif  yang berwenang mengadili kasus ini adalah Pengadilan Negri Karawang, Jawa Barat.
- Sedangkan berdasarkan ajaran De Leer van de Meervoudige Plaats, bahwa secara fisik delik tersebut terjadi di tempat kejadian (di Danau Cipule, Karawang, Jawa Barat.) demikian pula alat yang digunakan dalam delik bekerja/berfungsi di tempat kejadian (di Danau Cipule, Karawang, Jawa Barat.), maka atas dasar itu Pengadilan Negeri Karawang lah yang berwenang mengadilinya.
            Tempus Delicti
Dari kasus pembunuhan berencana diatas juga dapat ditentukan Tempus Delicti berdasarkan empat teori yang telah diulas diawal. Tempus Delicti dalam kasus tersebut adalah sebagai berikut :
- Berdasarkan teori perbuatan secara fisik maka waktu terjadinya delik adalah pada saat pelaku melakukan memukul tubuh korban dengan balok kayu serta membacok tubuh korban dengan menggunakan golok yang menyebabkan matinya korban, dilakukan pada hari Rabu, 28 Maret 2012 pukul 18.30 WIB .
- Berdasarkan teori bekerjanya alat maka waktu terjadinya delik adalah pada saat balok kayu dipukulkan dan golok di bacokkan oleh si pelaku ke tubuh korban, yaitu pada hari Rabu, 28 Maret 2012 pukul 18.30 WIB.
- Berdasarkan teori akibat, maka waktu terjadinya delik adalah pada saat korban mengalami pukulan dan bacokan di tubuhnya, yaitu pada hari Rabu, 28 Maret 2012 Pukul 18.30.WIB
- Berdasarkan teori waktu yang jamak, maka waktu terjadinya delik adalah pada hari Rabu, 28 Maret 2012 Pukul 18.30.WIB, karena bila dilihat dari perbuatan fisik tempus dari kasus ini adalah Rabu, 28 Maret 2012 Pukul 18.30.WIB dan bila dilihat dari akibat yang ditimbulkan dari perbuatan, tempusnya juga pada hari Rabu, 28 Maret 2012 Pukul 18.30.WIB.
Jadi secara keseluruhan dapat disimpulakan bahwa Locus dan Tempus dari kasus tersebut adalah di Danau Cipule, Karawang, Jawa Barat dan terjadi pada hari Rabu, 28 Maret 2012 Pukul 18.30.WIB.

BAB III
PENUTUP
3.1       Kesimpulan
Dari penjabaran diatas maka dalam hal ini dapat diambil kesimpulan bahwasanya Locus dan tempus delicti sangat penting keberadaannya selain berkaitan dengan berlakunya asas legalitas dalam hukum Pidana, Locus dan Tempus Delicti juga dapat menentukan hal lain seprti kewenangan relatif pengadilan, pertanggung jawaban, daluwarsa dan lain sebagainya serta yang paling penting adanya Locus dan Tempus delicti ini adalah sebagai syarat mutlak sahnya surat dakwaan. Jadi jika kedua hal tersebut tidak dapat ditentukan atau tidak ada maka surat dakwaan tersebut dapat dibatalkan demi hukum.
Selain itu untuk menentukan Locus dan Tempus delicti ada empat Teori yang dapat digunaan diantaranya :
a.       Teori  perbuatan materiil (de leer van de lichamelijke daad)
b.      Teori akibat (de leer van het gevolg)
c.       Teori instrumen (de leer van het instrument)
d.      Teori gabungan (de leer van de meervoudige pleets)
Jadi, dalam menentukan dimana dan kapan suatu tidak pidana tersebut terjadi. penegak hukum dituntut mengerti dan memahami keempat teori ini, serta diharapkan dapat menerapkannya sesuai dengan Delik yang sedang ditangani. Sehingga nantinya penentuan tempat dan waktu tindak pidana tersebut terjadi dapat di benarkan atau dengan kata lain dapat ditentukan dengan pasti.



3.2       Saran
            Agar dalam menentukan Locus dan tempus delicti dapat berjalan dengan baik, maka dalam hal ini Locus dan tempus Delicti ini haruslah di buat aturan yang dapat digunakan sebagai patokan dan keseragaman hukum sehingga tidak lagi penentuannya ditentukan oleh doktrin. Dalam RUU KUHP yang baru hal ini harus diatur dengan jelas dan jika perlu tanpa harus memerlukan penafsiran kembali.




[1] I Gede  Widhiana Suarda, Hukum Pidana :penghapus,peringan dan pemberat pidana. Hal.8-11
[2] Tongat, dasar – dasar pemidanaan dalam persepektif pembaharuan. Hal. 146
[3] Tongat, dasar – dasar pemidanaan dalam persepektif pembaharuan. Hal. 147 - 148
[4] Akses internet http://www.hukumonline.com/  akses  29 april 2012

[5] Tongat, dasar – dasar pemidanaan dalam persepektif pembaharuan. Hal.154 – 159
[6] Moeljatno, asas – asas hukum pidana. Hal  85 – 86
[7] Tongat, dasar – dasar pemidanaan dalam persepektif pembaharuan. Hal.149 -150
[9] Ibid hal.160 - 161
[12]Catatan perkuliahan hukum pidana  Penentuan unsur – unsur delik formal, disampaikan oleh Ibu Laely Wulandari, S.H.,M.H. tanggal 17 Maret 2012