Sejarah Politik Hukum Adat
1. Masa Sebelum Pemerintahan Hindia
Belanda
Sebelum kedatangan bangsa Eropa seperti Portugis,
Bbelanda dan Inggris negeri Nusantara ini dikuasai oleh para raja yang berkuasa
atas kerajaan – kerajaan mereka masing – masing. Selain memperebutkan kekuasaan
didalam mereka juga berebut kekuasaan diluar kerajaan sehingga membuat
kekuasaan politik dan kerajaan mereka lemah.
Hukum yang menjadi pegangan mereka berperilaku
bersfat parsial yakni hukum kerajan mereka masing – masing bahkan dalam
masyarakat adapula yang tunduk terhada hukumadat masing – masing suku, hukum
agama, bahkan kerajaan mereka masing – masing. Sering hukum erajaan seiring
denganhukum kerajaan namun tidak sedikit hukum kerajaan yang berbeda dengan
hukum adat suku, sehingga ada pluralisme hukum.
Masyarakat tidak pernah mempersoalkan hukum masing –
masing, karena ada pepatah mengatakan “negara mawa tata desa mawa cara” artinya
negara mempunyai tata tertib namun masyarakat juga mempunyai tata caranya
sendiri.
Pada tahun 1589 kapal bedera Belanda bersandar dan
melepaskan sauhnya di Banten. Kedatangan Belanda inilah awal lahirnya
kolonialisme di Nusantara, sebab pada tanggal 20 Maret 1602 atas anjuran Van
Oldenbaanneveldt, orang Belanda yang
terdiri dari 60 orang pemegang saham besar dan dikelolah oleh 17 orang pengurus
harian yang disebut De Heren Seventien. Meraka
mendirikan sebuah kongsi dagang yang disebut Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) yakni kongsi dagang India
Timur. Dan sejak itulah Belanba mulai menjajaki Nusantara dengan
Kolonialisasinya.
Jika dilihat dari beberapa literatur maka dapat
diambil garis besar terhadap sikap politik hukum VOC terhadap hukum Adat : (a)
bersifat Oportunitis artinya mendua meerapkan hukum Adat atau hukum VOC jika hal itu menguntungkan VOC; (b) bahkan
seringkali VOC tidak menghiraukan hukum adat dan membiarkan masyarakat pribumi
menggunakan hukum asli mereka itu. Sika ini diambil oleh VOC bukan karena VOC
menganggap bahwa hukum adat itu baik atau derajatnya sama dengan hukum Eropa
melainkan VOC tidak mau dipusingkan atau dibebani dengan pekerjaan – pekerjaan
administrasi; (c) VOC hanya perduli dengan hukum pidana karena mereka
memerlukan keamanan dan ketertiban umum yang berkaitan dengan kepentingan
dagang.
Dengan demikian, VOC telah mengabaikan perintah De
heren XVII tertanggal 4 Maret 1621 yang menghendaki hukum sipil Belanda
diberlakukan didaerah yang diuasainya.
KekuasaanVOC sejak berdiri hingga akhir masa
kekuasaanya bisa dikatakan hanya berfokus di Jawa saja. Selama dua abad
kekuasaanya mereka dalam politik hukum
VOC tidak pernah memperhatikan hukum adat. Pandangan VOC tantang hukum adat
pada umumnya sama dengan pandangan orang Belanda pada umumnya yang menyamakan
hukum adat dengan hukum agama (Islam).
Sedangkan intu hukum adat pada masa itu yakni saling
menghormati perbedaan masing – masing, rasa takut pada kekuasaan yang lebih
kuat/sakti, penuh rasa persahabatan, kekeluargaan/ kekerabatan, dan kebersamaan
mengutamakan kerukunan / keselarasan/ keseimbangan kosmis sebagai sendi
ketertiban dan keadilan dimana sesuatu ditempatkan di atas materi dan
kepentingan pribadi.
Walaupun VOC kurang memperhatikan kehidupan hukum
adat namun alur pikiran kebendaan orang Eropa telah meragsang cara berfikir dan
melahirkan sifat materialisme penduduk pribumi. Demikian pula sebaliknya, sifat
relijiusitas penduduk pribumi merangsang cara
berfikir sebagian orang terutama kaum intelektual Erops untuk
mempelajari, mendalami, dan mengkaji hukum adat.
2. Masa
Hindia Timur = Deandels (1811 - 1816)
Pada tanggal 31 Desember 1799, akhirnya VOC
mengalami kebangkrutan dan dibubarkan. Kemudian kekuasaan diambil alih oleh
Bataafsche Republiec yang dipimpin oleh William Deandels.
Bataafsche
Republiec kemudian berubah menjadi Koninkrijk Holland dengan rajanya Luis
Napoleon. Raja mengangkat Deandels menjadi Gubenur jendral yang berkuasa 1811 –
1816. Deandels dikenal kekejamannya sebagai Marsekal Basi.
Pekerjaan
yang berhasil dilakukan :
·
Memberatas korupsi
·
Melakukan reorganisasi kehakiman dan
pamong praja
·
Membuat jalan raya dari Anyer –
Panarukan untuk keperluan perang, dan
·
Yang paling merugikan masyarakat ialah
menjual tanah kepada orang asing yang kemudian hari disebut tanah partikulir.
Menurut pasal 8 Charter 1804 dinyatakan bahwa
sususnan pengadilan untuk bangsa pribumi akan tetap menurut hukum dan adat
mereka, sedang pemerintah hindia akan menjaga dengan alatnya yang pantas, agar
didaerah yang secara langsung di kuasai oleh pemerintah (Deandels) sedapat –
dapatnya perbuatan yang sewenag – wenang, yang masuk diam – diam yang
bertentangan dengan hukum dan adat anak pribmi yang akan tersapu, lagi pula
akan diusahakan anak negeri mendapat keadilan dengan cepat dan baik, dengan
jalan menambah banyaknya penadilan negeri atau pengadilan pembantu, kemudian
semua pengaruh yang buruk dari kekuasaan politik apapun juga akan ditentang.
3. Masa
Kekuasaan Inggris = Raffles (1811 –
1816)
Kompeni Inggris di Pulau Penang Lord Lominto
mengangkat Raffles sebagai agen politik dengan tugas mengumpulkan bahan – bahan
untuk merebut pulau jawa.
Kemudian setelah diangkat menjadi aagen politik
Faffles membuat sebuah karya berupa memori yang disampaikan kepada Lord Laminto
yang mengatakan: “agar anak megeri terpikat hatinya kepada pemerintahan
Inggris, maka pemerintahan harus dilaksanakan dengan murah hati dan sabar,
penaruh Inggris harus benar – benar diperkuat di Kepulaan itu, agar kedudukan
disana tetap kuat, walaupun mungkin jajahan ini nanti akan dikembalikan setelah
tercapai peerdamain di Eropa”.
Politik hukum inggris pada masa Lord Laminto di
proklamirkan pada saat pengangkatan Raffles sebagai Gubenur Jendral di
Indonesia :
·
Politik bermurah hati dan sabar terhadap
rakyat;
·
Susunan Pemerintahan lama akan diadakan
perubahan;
·
Lembaga – lembaga yang dibangun oleh
Deandels yang bersifat ‘biadap feodal’ (istilah Raffles) harus ditiadakan;
·
Sistem pajak yang dibayar dalam bentuk
benda dan kerja paksa (contingente, verplichtenleverantien en herendiensten)
akan dihapus.
Politik hukum raffles
terhadap hukum adat ini di pengaruhi oleh Filsafat Humanisme yang berkembang di
Eropa. Raffles berusaha melindungi kepentingan rakyat dan melenyapkan pengaruh
kepala rakyat masa VOC seperti Regent (Bupati), Demang (Wedana), dll.
4. Masa
menjelang tahun 1848 (1816 – 1848)
a. Azas
Konkordansi
Politik Hukum adat,
menurut prof. Soetandyo Wignjosoebroto, adalah kebijakan kolonial pertama untuk
mengingkari eksistensi hukum adat. Upaya untuk mengingkari eksistensi ‘Godsdienstige Wetten, volksinstellingen en
Gebruiken’ atau sebagai hukum yang difungsikan untuk mengintegrasi dan
mengorganisasi kehidupan masyarakat lokal dengan mengkonsepkan hukum perundang
– undangan.
b. Usaha
Unifakasi Hukum (1848 – 1927)
Pada tahun 1848 trjadi
sebuah Unifikasi Legislasi KUHPerdata, KUHPidana dan HIR bagi golongan Eropa di
Indonesia, sehingga kedudukan hukum adat menjadi sangat riskan.
c. Usaha
Kodifikasi Hukum (1927 – 1942)
Pada tahun 1927,
Belanda mengubah haluan dari usaha unifikasi hukum berdasarkan asas Konkordansi
ke kodifikasi hukum berdasarkan asas legalitas.
Politik hukum yang
dilakukan Pemerintah Kolonial sejak masa pendudukannya diawali dengan usaha
unifikasi yang agal dan digantikan dengan Kodifikasi. Teringat pada perkataan
yang diungkapkan oleh Macauly yang melukiskan perjalanan di hukumnya di india
pada tahun 1833, menyataan bahwa :
“Uniformity when you can have it, Deversity When you must have it. But,
in all cases: certainty”.
5. Masa
Pemerintahan Jepang
Untuk
menjalankan pemerintahan, pemerintah bala tentara Dai Nippin mengeluaran UU
No.1 Tahun 1943 untuk menjalankan pemerintah bala tentara yang dimuat dalan Kan
Po No. Istimewa bulan Maret 1943. Penraturan ini menyatakan bahwa semua badan
pemerintahan beserta peraturannya, hukum dan pemerintahan Belanda untuk
sementara waktu tetap diakui sah asalkan tidak bertentangan denga peraturan
militer Jepang.
Dengan
adanya ketentuan peralihan ini, berdasarkan pasal 131 jo 163 I.S, huum adat
golongan orang pribumi masih tetap berlaku, meskipun dalam kenyataan sehari –
hari pemerintahan Facisme Jepang tidak benar – benar menerapkannya secara
konsisten. Oleh karena kekejaman Jepang sehingga banyak pemuka masyarakat dan
pemuka adat takut dan melarikan diri, sehingga banyak eturan hukum adat tidak
dapat diterapkan.
6. Masa
Kemerdekaan
Pada
tanggal 17 Agustus 1945, indonesia menyatakan kemerekaannya yang di
proklamasikan oleh Bung Karno dan Bung Hatta. Pada tanggal 18 Agustus 1945, UUD
1945 disahkan sehingga menadi sebuah negara yang merdeka dan berdaulat sudah
terpenuhi. Berdasarkan UUD 1945 inilah roda pemerintahan dijalankan, dan hukum
– hukum negarapun mulai di buat.
Pada
era Soeharto kemudian hukum revolusi dan hukum yang berfungsi sebagai as a tool of social enginering, ini dlam
konsepnya, secara eksplisit merupak
hukum baru anti kolonialisme, anti radisi dapatlah dimengerti bahwa hukum adat
tidak akan terkualifikasi kedalam kategori hukum yang di konsepkan sebagai
hukum revolusi atau hukum perekayasa sosial.
Pada
era pasca kolonial ini eksistensi dan peran hukum adat dalam persoalan
pertanahan sudah tidak sekuat dulu. Ketika eksistensi sampai batas tertentu
masih memperoleh pengakuan, justeru oleh hukum kolonial. Apabila hukum kolonial
masih mengakui hak individual orang pribumi, sekalipun bersifat Ipso yure/de yure yang disebut bezitrecht, dan mengakui pula hak
kolektif desa dan masyarakat hukum adat lainya, hukum Republik Indonesia justru
sebaliknya. Pasal 33 ayat 2 UUD 1945 mengatakan bahwa “Bumi, air, dan kekayaan
alam yang terkandung didalamnya dikuasai negara” telamh manjadi dasar pembenar
secara konstitusional untuk memperkecil eksistensi dan kompetensi komunitas
local dengan hukum adatnya. Untuk menguasai bumi, air, dan sumber agraria
lainnya yang berda di tempat itu.
Keadaan
yang seperti demikian bukan tidak mungkin nantinya dapat memahayakan persatuan
dan kesatuan nasional. Seperti yang dinyatakan oleh seorang tokoh di Kalimantan
yang menyatakan “lebih enak menjadi orang Dayak dari pada orang Indonesia yang
tidak bisa punya hutan, atau seorang Tokoh Muda Aliansi Masyarakat Adat
Nusantara dari Jawa Barat dalam Seminar Hak – Hak Masyarakat Sipil dalam
Catatan Sipil di Jakarta tahun 2007 menyatakan “...... jika negara tidak
mengakui kami, kamipun tidak mau mengakui negara”. Kalaupun hukum adat tidak
dibentuk dalam wujud hukum nasional yang
akan dapat dijadikan sebagai sumber hukum formal, setidak – tidaknya dapatlah
hukum adat di gunakan sebagai sumber hukum materiil oleh siapapun yang tengah
menangani masalah pertanahan daerah.
Daftar
Pustaka
1.
Dr. Dominikus Rato, S.H., M.Si.2011.
Hukum Adat (suatu pengantar singkat memahami hukum adat indonesia). Yogyakarta .
LaksBang PRESSindo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar