Halaman

Entri Populer

Jumat, 08 Maret 2013

Hukum Adat

Sejarah Politik Hukum Adat
 
1.      Masa Sebelum Pemerintahan Hindia Belanda
Sebelum kedatangan bangsa Eropa seperti Portugis, Bbelanda dan Inggris negeri Nusantara ini dikuasai oleh para raja yang berkuasa atas kerajaan – kerajaan mereka masing – masing. Selain memperebutkan kekuasaan didalam mereka juga berebut kekuasaan diluar kerajaan sehingga membuat kekuasaan politik dan kerajaan mereka lemah.
Hukum yang menjadi pegangan mereka berperilaku bersfat parsial yakni hukum kerajan mereka masing – masing bahkan dalam masyarakat adapula yang tunduk terhada hukumadat masing – masing suku, hukum agama, bahkan kerajaan mereka masing – masing. Sering hukum erajaan seiring denganhukum kerajaan namun tidak sedikit hukum kerajaan yang berbeda dengan hukum adat suku, sehingga ada pluralisme hukum.
Masyarakat tidak pernah mempersoalkan hukum masing – masing, karena ada pepatah mengatakan “negara mawa tata desa mawa cara” artinya negara mempunyai tata tertib namun masyarakat juga mempunyai tata caranya sendiri.
Pada tahun 1589 kapal bedera Belanda bersandar dan melepaskan sauhnya di Banten. Kedatangan Belanda inilah awal lahirnya kolonialisme di Nusantara, sebab pada tanggal 20 Maret 1602 atas anjuran Van Oldenbaanneveldt, orang Belanda  yang terdiri dari 60 orang pemegang saham besar dan dikelolah oleh 17 orang pengurus harian yang disebut De Heren Seventien. Meraka mendirikan sebuah kongsi dagang yang disebut Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) yakni kongsi dagang India Timur. Dan sejak itulah Belanba mulai menjajaki Nusantara dengan Kolonialisasinya.
Jika dilihat dari beberapa literatur maka dapat diambil garis besar terhadap sikap politik hukum VOC terhadap hukum Adat : (a) bersifat Oportunitis artinya mendua meerapkan hukum Adat atau hukum VOC  jika hal itu menguntungkan VOC; (b) bahkan seringkali VOC tidak menghiraukan hukum adat dan membiarkan masyarakat pribumi menggunakan hukum asli mereka itu. Sika ini diambil oleh VOC bukan karena VOC menganggap bahwa hukum adat itu baik atau derajatnya sama dengan hukum Eropa melainkan VOC tidak mau dipusingkan atau dibebani dengan pekerjaan – pekerjaan administrasi; (c) VOC hanya perduli dengan hukum pidana karena mereka memerlukan keamanan dan ketertiban umum yang berkaitan dengan kepentingan dagang.
Dengan demikian, VOC telah mengabaikan perintah De heren XVII tertanggal 4 Maret 1621 yang menghendaki hukum sipil Belanda diberlakukan didaerah yang diuasainya.
KekuasaanVOC sejak berdiri hingga akhir masa kekuasaanya bisa dikatakan hanya berfokus di Jawa saja. Selama dua abad kekuasaanya  mereka dalam politik hukum VOC tidak pernah memperhatikan hukum adat. Pandangan VOC tantang hukum adat pada umumnya sama dengan pandangan orang Belanda pada umumnya yang menyamakan hukum adat dengan hukum agama (Islam).
Sedangkan intu hukum adat pada masa itu yakni saling menghormati perbedaan masing – masing, rasa takut pada kekuasaan yang lebih kuat/sakti, penuh rasa persahabatan, kekeluargaan/ kekerabatan, dan kebersamaan mengutamakan kerukunan / keselarasan/ keseimbangan kosmis sebagai sendi ketertiban dan keadilan dimana sesuatu ditempatkan di atas materi dan kepentingan pribadi.
Walaupun VOC kurang memperhatikan kehidupan hukum adat namun alur pikiran kebendaan orang Eropa telah meragsang cara berfikir dan melahirkan sifat materialisme penduduk pribumi. Demikian pula sebaliknya, sifat relijiusitas penduduk pribumi merangsang cara  berfikir sebagian orang terutama kaum intelektual Erops untuk mempelajari, mendalami, dan mengkaji hukum adat.
2.      Masa Hindia Timur = Deandels (1811 - 1816)
Pada tanggal 31 Desember 1799, akhirnya VOC mengalami kebangkrutan dan dibubarkan. Kemudian kekuasaan diambil alih oleh Bataafsche Republiec yang dipimpin oleh William Deandels.
Bataafsche Republiec kemudian berubah menjadi Koninkrijk Holland dengan rajanya Luis Napoleon. Raja mengangkat Deandels menjadi Gubenur jendral yang berkuasa 1811 – 1816. Deandels dikenal kekejamannya sebagai Marsekal Basi.
Pekerjaan yang berhasil dilakukan :
·        Memberatas korupsi
·        Melakukan reorganisasi kehakiman dan pamong praja
·        Membuat jalan raya dari Anyer – Panarukan untuk keperluan perang, dan
·        Yang paling merugikan masyarakat ialah menjual tanah kepada orang asing yang kemudian hari disebut tanah partikulir.
Menurut pasal 8 Charter 1804 dinyatakan bahwa sususnan pengadilan untuk bangsa pribumi akan tetap menurut hukum dan adat mereka, sedang pemerintah hindia akan menjaga dengan alatnya yang pantas, agar didaerah yang secara langsung di kuasai oleh pemerintah (Deandels) sedapat – dapatnya perbuatan yang sewenag – wenang, yang masuk diam – diam yang bertentangan dengan hukum dan adat anak pribmi yang akan tersapu, lagi pula akan diusahakan anak negeri mendapat keadilan dengan cepat dan baik, dengan jalan menambah banyaknya penadilan negeri atau pengadilan pembantu, kemudian semua pengaruh yang buruk dari kekuasaan politik apapun juga akan ditentang.
3.      Masa Kekuasaan  Inggris = Raffles (1811 – 1816)
Kompeni Inggris di Pulau Penang Lord Lominto mengangkat Raffles sebagai agen politik dengan tugas mengumpulkan bahan – bahan untuk merebut pulau jawa.
Kemudian setelah diangkat menjadi aagen politik Faffles membuat sebuah karya berupa memori yang disampaikan kepada Lord Laminto yang mengatakan: “agar anak megeri terpikat hatinya kepada pemerintahan Inggris, maka pemerintahan harus dilaksanakan dengan murah hati dan sabar, penaruh Inggris harus benar – benar diperkuat di Kepulaan itu, agar kedudukan disana tetap kuat, walaupun mungkin jajahan ini nanti akan dikembalikan setelah tercapai peerdamain di Eropa”.
Politik hukum inggris pada masa Lord Laminto di proklamirkan pada saat pengangkatan Raffles sebagai Gubenur Jendral di Indonesia :
·        Politik bermurah hati dan sabar terhadap rakyat;
·        Susunan Pemerintahan lama akan diadakan perubahan;
·        Lembaga – lembaga yang dibangun oleh Deandels yang bersifat ‘biadap feodal’ (istilah Raffles) harus ditiadakan;
·        Sistem pajak yang dibayar dalam bentuk benda dan kerja paksa (contingente, verplichtenleverantien en herendiensten) akan dihapus.
Politik hukum raffles terhadap hukum adat ini di pengaruhi oleh Filsafat Humanisme yang berkembang di Eropa. Raffles berusaha melindungi kepentingan rakyat dan melenyapkan pengaruh kepala rakyat masa VOC seperti Regent (Bupati), Demang (Wedana), dll.
4.      Masa menjelang tahun 1848 (1816 – 1848)
a.       Azas Konkordansi
Politik Hukum adat, menurut prof. Soetandyo Wignjosoebroto, adalah kebijakan kolonial pertama untuk mengingkari eksistensi hukum adat. Upaya untuk mengingkari eksistensi ‘Godsdienstige Wetten, volksinstellingen en Gebruiken’ atau sebagai hukum yang difungsikan untuk mengintegrasi dan mengorganisasi kehidupan masyarakat lokal dengan mengkonsepkan hukum perundang – undangan.
b.      Usaha Unifakasi Hukum (1848 – 1927)
Pada tahun 1848 trjadi sebuah Unifikasi Legislasi KUHPerdata, KUHPidana dan HIR bagi golongan Eropa di Indonesia, sehingga kedudukan hukum adat menjadi sangat riskan.
c.       Usaha Kodifikasi Hukum (1927 – 1942)
Pada tahun 1927, Belanda mengubah haluan dari usaha unifikasi hukum berdasarkan asas Konkordansi ke kodifikasi hukum berdasarkan asas legalitas.
Politik hukum yang dilakukan Pemerintah Kolonial sejak masa pendudukannya diawali dengan usaha unifikasi yang agal dan digantikan dengan Kodifikasi. Teringat pada perkataan yang diungkapkan oleh Macauly yang melukiskan perjalanan di hukumnya di india pada tahun 1833, menyataan bahwa :
Uniformity when you can have it, Deversity When you must have it. But, in all cases: certainty”.
5.      Masa Pemerintahan Jepang
Untuk menjalankan pemerintahan, pemerintah bala tentara Dai Nippin mengeluaran UU No.1 Tahun 1943 untuk menjalankan pemerintah bala tentara yang dimuat dalan Kan Po No. Istimewa bulan Maret 1943. Penraturan ini menyatakan bahwa semua badan pemerintahan beserta peraturannya, hukum dan pemerintahan Belanda untuk sementara waktu tetap diakui sah asalkan tidak bertentangan denga peraturan militer Jepang.
Dengan adanya ketentuan peralihan ini, berdasarkan pasal 131 jo 163 I.S, huum adat golongan orang pribumi masih tetap berlaku, meskipun dalam kenyataan sehari – hari pemerintahan Facisme Jepang tidak benar – benar menerapkannya secara konsisten. Oleh karena kekejaman Jepang sehingga banyak pemuka masyarakat dan pemuka adat takut dan melarikan diri, sehingga banyak eturan hukum adat tidak dapat diterapkan.
6.      Masa Kemerdekaan
Pada tanggal 17 Agustus 1945, indonesia menyatakan kemerekaannya yang di proklamasikan oleh Bung Karno dan Bung Hatta. Pada tanggal 18 Agustus 1945, UUD 1945 disahkan sehingga menadi sebuah negara yang merdeka dan berdaulat sudah terpenuhi. Berdasarkan UUD 1945 inilah roda pemerintahan dijalankan, dan hukum – hukum negarapun mulai di buat.
Pada era Soeharto kemudian hukum revolusi dan hukum yang berfungsi sebagai as a tool of social enginering, ini dlam konsepnya, secara eksplisit  merupak hukum baru anti kolonialisme, anti radisi dapatlah dimengerti bahwa hukum adat tidak akan terkualifikasi kedalam kategori hukum yang di konsepkan sebagai hukum revolusi atau hukum perekayasa sosial.
Pada era pasca kolonial ini eksistensi dan peran hukum adat dalam persoalan pertanahan sudah tidak sekuat dulu. Ketika eksistensi sampai batas tertentu masih memperoleh pengakuan, justeru oleh hukum kolonial. Apabila hukum kolonial masih mengakui hak individual orang pribumi, sekalipun bersifat Ipso yure/de yure yang disebut bezitrecht, dan mengakui pula hak kolektif desa dan masyarakat hukum adat lainya, hukum Republik Indonesia justru sebaliknya. Pasal 33 ayat 2 UUD 1945 mengatakan bahwa “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai negara” telamh manjadi dasar pembenar secara konstitusional untuk memperkecil eksistensi dan kompetensi komunitas local dengan hukum adatnya. Untuk menguasai bumi, air, dan sumber agraria lainnya yang berda di tempat itu.
Keadaan yang seperti demikian bukan tidak mungkin nantinya dapat memahayakan persatuan dan kesatuan nasional. Seperti yang dinyatakan oleh seorang tokoh di Kalimantan yang menyatakan “lebih enak menjadi orang Dayak dari pada orang Indonesia yang tidak bisa punya hutan, atau seorang Tokoh Muda Aliansi Masyarakat Adat Nusantara dari Jawa Barat dalam Seminar Hak – Hak Masyarakat Sipil dalam Catatan Sipil di Jakarta tahun 2007 menyatakan “...... jika negara tidak mengakui kami, kamipun tidak mau mengakui negara”. Kalaupun hukum adat tidak dibentuk dalam wujud hukum nasional  yang akan dapat dijadikan sebagai sumber hukum formal, setidak – tidaknya dapatlah hukum adat di gunakan sebagai sumber hukum materiil oleh siapapun yang tengah menangani masalah pertanahan daerah.
Daftar Pustaka
1.      Dr. Dominikus Rato, S.H., M.Si.2011. Hukum Adat (suatu pengantar singkat memahami hukum adat indonesia). Yogyakarta . LaksBang PRESSindo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar